KONDISI PULAU SIPADAN DAN LIGITAN
Pulau sipadan adalah sebuah pulau di wilayah Malaysia, dengan luas 10,4 ha yang terletak di laut Sulawesi di sebelah timur kota Tawau di bagian timur wilayah Malaysia pada pulau Kalimantan. Terbentuk dari gunung laut yang muncul di permukaan laut yang memerlukan waktu ribuan tahun untuk terbentuk yang memiliki ketinggian 600 – 700 meter. Sipadan terletak di wilayah patahan Indo-Pasifik, salah satu habitat pantai terkaya di dunia. Lebih dari 3.000 spesies ikan dan ratusan spesies karang laut berhasil diidentifikasi di sekitar ekosistem pulau Sipadan.
Pulau Ligitan adalah pulau kecil yang terletak di sekitar wilayah kota Tawau, dengan luas wilayah sebesar 7,9 ha dengan jarak 21 mil dari Sabah dan 57,6 mil dari Sebatik. Secara umum merupakan kepulauan yang terdapat di bawah permukaan air laut dan sebagian besar terdiri atas pulau pasir. Pulau Ligitan merupakan pulau yang tidak memiliki vegetasi dan pohon, dan dapat dikatakan tidak didiami.
KEGIATAN EKONOMI
Semenjak akhir dekade 1970an, pemerintah Malaysia berusaha mengembangkan sektor pariwisata dengan memanfaatkan wilayah-wilayah yang berpotensi untuk mendatangkan devisa bagi Malaysia. Hal ini memberikan dampak terhadap keberadaan pulau Sipadan dan Ligitan yang sedang dalam sengketa kepemilikan antara Indonesia dan Malaysia.
Dengan potensi bawah laut yang besar dan layak jual, pemerintah Malaysia mengembangkan kawasan wisata pantai di ke-dua pulau tersebut. Keputusan tersebut dikatakan menjadi keputusan yang tepat karena ke-dua pulau tersebut menjadi tujuan pariwisata utama bagi pelancong lokal dan mancanegara. Bahkan hingga Desember tahun 2001 melalui Borneo Diver, sebuah biro perjalanan wisata yang berhak mengelola ke-dua pulau tersebut, jumlah wisata yang berhasil didatangkan sebanyak 50 ribu wisatawan dalam jangka waktu 10 tahun.
Potensi bawah laut yang besar yang ada di wilayah pulau Sipadan dan Ligitan adalah keberadaan penyu hijau yang sangat dilindungi keberadaannya, keberadaan spesies ikan dan karang laut yang sangat beragam dan indah.
Pulau sipadan – Ligitan merupakan salah satu tujuan wisata bahari di dunia. Hal ini didukung dengan adanya fasilitas dan infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah malaysia untuk pengembangan ke dua pulau tersebut. Pembangunan resort –resort wisata yang sangat mendukung keberlanjutan kegiatan pariwisata merupakan salah satu kunci keberhasilan dari kegiatan pariwisata ini.
PROSES PENYELESAIAN SENGKETA PULAU SIPADAN DAN LIGITAN
Kasus pulau Sipadan dan Ligitan mulai muncul sejak 1969 ketika Tim Teknis Landas Kontinen Indonesia – Malaysia membicarakan batas dasar laut antar kedua negara. Kedua pulau Sipadan dan Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari wilayah negara RI, padahal kedua pulau tersebut tidak tertera pada peta yang menjadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis Indonesia.
Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan pulau Sipadan dan Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut. Di saat yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya dengan mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta. Kedua belah pihak untuk sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam “Status Quo”. Dua puluh tahun kemudian (1989), masalah P. Sipadan dan P. Ligitan baru dibicarakan kembali oleh Presiden Soeharto dan PM. Mahathir Muhamad.
Pada tahun 1992 kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan kelompok Kerja Bersama (Joint Commission/JC & Joint Working Groups / JWG).Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebutuan.
Pemerintah RI menunjuk Mensesneg Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk Wakil PM Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum JC/JWG.Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kualalumpur tidak pernah mencapai hasil kesepakatan.
Pada pertemuan tanggal 6-7 Oktober 1996 di Kuala lumpur Presiden Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus dan selanjutnya tangal. 31 Mei 1997 disepakati “Spesial Agreement for the Submission to the International Court of Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia concerning the Sovereignty over P. Sipadan and P. Ligitan”. Special Agreement itu kemudian disampaikan secara resmi ke Mahkamah International pada tanggal 2 Nopember 1998.
Dengan itu proses ligitasi P. Sipadan dan P. Ligitan di MI/ICJ mulai berlangsung. Selanjutnya penjelasan dua pulau tersebut sepenuhnya berada di tangan RI.
Namun demikian kedua negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisi masing-masing melalui “ Written pleading “ kepada Mahkamah Memorial pada tanggal 2 Nopember 1999 diikuti, “Counter Memorial” pada 2 Agustus 2000 dan “reply” pada 2 Maret 2001. Selanjutnya proses “Oral hearing” dari kedua negara bersengketa pada tanggal 3 –12 Juni 2002 . Dalam menghadapi dan menyiapkan materi tersebut diatas Indonesia membentuk satuan tugas khusus (SATGASSUS) yang terdiri dari berbagai institusi terkait yaitu : Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut International.
Indonesia mengangkat “co agent” RI di MI/ICJ yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl (International Counsels). Hal yang sama juga dilakukan pihak Malaysia. Proses hukum di MI/ICJ ini memakan waktu kurang lebih 3 tahun. Selain itu, cukup banyak energi dan dana telah dikeluarkan. Menlu Hassas Wirayuda mengatakan kurang lebih Rp. 16.000.000.000 dana telah dikeluarkan yang sebagian besar untuk membayar pengacara.
Secara rinci tentang kronologi kasus Sipadan dan Ligitan dapat di lihat pada tabel di bawah ini :
Tahun
|
Peristiwa
|
1969
|
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan muncul pertama kali pada perundingan mengenai batas landas kontinen antara RI dan Malaysia di Kuala Lumpur (9-12 September 1969). Hasil Kesepakatan: kedua pihak agar menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang menyangkut kedua pulau itu sampai penyelesaian sengketa.
|
1970
|
Malaysia melakukan tindakan sepihak dengan menerbitkan peta yang memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam wilayah nasionalnya, dan beberapa tahun kemudian melakukan pembangunan dan pengelolaan fasilitas-fasilitas wisata di kedua pulau itu.
|
1989
|
Pembahasan sengketa oleh Presiden RI Soeharto dan PM Malaysia Mahathir Muhammad di Yogyakarta, tahun 1989. Hasil kesimpulan: sengketa mengenai kedua pulau tersebut sulit untuk diselesaikan dalam kerangka perundingan bilateral.
|
1997
|
Kedua pihak sepakat untuk mengajukan penyelesaian sengketa tersebut ke Mahkamah Internasional dengan menandatangani dokumen "Special Agreement for the Submission to the International Court of Justice on the Dispute between Indonesian and Malaysia concerning the Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan" di Kuala Lumpur pada tanggal 31 Mei 1997.
|
1998
|
Pada tanggal 2 November 1998, kesepakatan khusus yang telah ditandatangani itu kemudian secara resmi disampaikan kepada Mahkamah Internasional, melalui suatu "joint letter" atau notifikasi bersama.
|
2000
|
Proses argumentasi tertulis ("written pleadings") dari kedua belah pihak dianggap rampung pada akhir Maret 2000 di Mahkamah Internasional. Argumentasi tertulis itu terdiri atas penyampaian "memorial", "counter memorial", dan "reply" ke Mahkamah Internasional.
|
2002
|
Proses penyelesaian sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan di Mahkamah Internasional memasuki tahap akhir, yaitu proses argumentasi lisan ("oral hearing"), yang berlangsung dari tanggal 3-12 Juni 2002. Pada kesempatan itu, Menlu Hassan Wirajuda selaku pemegang kuasa hukum RI, menyampaikan argumentasi lisannya ("agent’s speech"), yang kemudian diikuti oleh presentasi argumentasi yuridis yang disampaikan Tim Pengacara RI. Mahkamah Internasional kemudian menyatakan bahwa keputusan akhir atas sengketa tersebut akan ditetapkan pada Desember 2002.
|
Pada tanggal 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional di Den Haag menetapkan Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi bagian dari wilayah kedaulatan Kerajaan Malaysia atas dasar “efektivitas” karena Malaysia telah melakukan upaya administrasi dan pengelolaan konservasi alam di kedua pulau tersebut.
|
Indonesia memiliki data-data sejarah yang mendukung klaim kepemilikan atas Pulau Sipadan dan Ligitan, yaitu :
Ø Konvensi antara Belanda - Inggris pada tahun 1891 mengenai kesepakatan daerah di selatan garis paralel 4′ 10 menit Lintang Utara milik Belanda dimana Pulau Sipadan dan Ligitan berada di sebelah selatan garis itu.
Ø Kesepakatan tersebut dikukuhkan dalam peta yang dibuat Belanda dan diakui Inggris.
Ø Peta-peta yang dibuat Kartografi Stanford (Inggris) dan peta yang dibuat Badan Pemetaan Nasional Malaysia hingga 1970-an, tidak mencantumkan Sipadan - Ligitan sebagai milik Malaysia.
Ø Belanda telah melakukan kedaulatan dengan melakukan survei serta patroli dikedua pulau itu pada 1903 serta mendaratkan Kapal Lynx di Sipadan pada 1921.
Ø Izin penambangan minyak yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia dan Malaysia mengacu pada Konvensi 1891.
Demikian juga dengan Malaysia memiliki data-data sejarah, yaitu:
Ø Kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan secara estafet dari Sultan Dent/Overback - Inggris - Malaysia serta Sultan Sulu -Spanyol - AS Inggris - Malaysia ( Chain of Title ).
Ø Doktrin penguasaan efektif secara berkesinambungan (effective occupation) atas kedua pulau tersebut.
Ø Malaysia lebih banyak memiliki bukti tindakan administratif di kedua pulau itu. Antara lain penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung oleh Inggris pada 1917, penarikan pajak bagi pengumpul telur penyu sejak tahun 1930 dan pengoperasian mercusuar sejak tahun 1960-an serta melaksanakan aktivitas kepariwisataan sejak 1980.
Ø Fakta bahwa, kapal perang AS pada 1903 mengunjungi Pulau Sipadan dan mengklaim menjadi miliknya.
Ø Tidak ada bukti tertulis bahwa kedua pulau itu pernah berada di bawah administrasi Belanda yang diperoleh dari Kesultanan Bulungan.
Ø Garis batas 40 10 menit Lintang Utara bukanlah allocation line, karena Ingris tidak pemah mengindikasikan keinginannya untuk menentukan batas laut territorial di Borneo Utara.
Namun pihak Mahkamah Internasional, yang menggunakan argumen pendudukan efektif (effective occupation) akhirnya memutuskan Malaysia yang berhak atas kedua pulau. Malaysia “beruntung” karena pernah dijajah Inggris, yang lebih aktif melakukan tindakan kedaulatan hukum terhadap kedua pulau itu, daripada Belanda, yang pernah menguasai Indonesia.
Perundang-undangan Inggris menetapkan suaka burung dan pajak telur penyu pada Sipadan dan Ligitan. Inggris pula yang membangun mercu suar di kawasan itu pada awal 1960 dan 1963. Dua bulan sekali, datang petugas yang mengisi minyak di mercu suar. Sedangkan Belanda, yang menguasai koloni Indonesia, hanya mondar-mandir dengan kapal ke seputar kawasan itu tanpa melakukan suatu tindakan kedaulatan hukum yang berarti.
PRO DAN KONTRA TERHADAP KEPUTUSAN PBB TERHADAP P. SIPADAN DAN P. LIGITAN
Deklarasi Juanda tanggal 13 Desember 1957 tentang Wawasan Nusantara yaitu mengenai status Indonesia sebagai negara kepulauan, dimana perairan territorial Indonesia sebelumnya hanya sejauh 3 mil dari tiap-tiap pulau di kepulauan Indonesia. Konvensi Hukum Laut I Jenewa 1958, Konvensi tentang Laut Teritorial memungkinkan suatu negara menarik garis pangkal dengan straight base line dan normal base line. Melalui Undang-Undang No. 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dan dilakukan penarikan garis pangkal untuk mengukur laut teritorial sejauh 12 mil dari titik terluar dari pulau-pulau terluar. Titik dasar yang didapat dari hasil perhitungan diatas peta (tanpa melalui survei lapangan) sebayak 200 titik dasar dengan metode point to point theory. Satu hal mendasar yang “terlupakan” dalam UU No. 4/Prpl1960 adalah Pulau Sipadan dan Ligitan tidak dimasukkan dalam wilayah negara kepulauan Indonesia.
Kontroversi pokok yang terbaca dalam putusan itu menyangkut penilaian atas Perjanjian 1891 Inggris-Belanda. Mayoritas hakim menganggap, perjanjian itu tidak jelas. Untuk mengatasi ketidakjelasan, mereka mengikuti secara rinci aturan Konvensi Wina Tahun 1968 tentang interpretasi sesuatu perjanjian internasional. Bila suatu perjanjian tidak jelas, maka yang harus diteliti lebih dulu adalah teksnya untuk menemukan makna yang biasanya dilekatkan pada kata dan kalimat (ordinary meaning). Kalau ini tidak berhasil menjernihkan yang tidak jelas, maka yang harus diperiksa adalah konteks, maksud, dan tujuan perjanjiannya. Bila itu pun tak membawa hasil, maka hanya sebagai pengecualian, dapat diupayakan penafsiran tambahan dengan cara menyelidiki proses persiapan serta situasi yang mendahului pembuatan perjanjian. Semua upaya ditempuh Mahkamah dalam upaya menghilangkan keraguan Perjanjian 1891. Bila gagal menemukan kejelasan, Mahkamah memutuskan untuk memeriksa pelaksanaan kedaulatan di lapangan. Ditinjau dari segi pelaksanaan kedaulatan ini, Malaysia dimenangkan, dan Indonesia kalah.
Hakim Ad Hoc Thomas M Franck, satu-satunya hakim yang tidak menyetujui putusan mayoritas, berpendapat, perjanjian internasional yang bertujuan menghindari konflik perbatasan tak boleh diperlakukan sama dengan kontrak jual merang. Perjanjian semacam itu tak pada tempatnya ditafsir secara terbatas. Maksud dan tujuan para pihak dalam perjanjian itu jelas, untuk menghindari perselisihan tentang garis perbatasan di masa depan.
Pendekatan ini dapat ditempuh Mahkamah dengan menggunakan prinsip hukum acara tentang pembuktian yang sudah mapan dan disebut presumsi. Presumsi dalam menilai Perjanjian 1891 seharusnya berkesimpulan, ia dibuat untuk menutup segala kemungkinan terjadinya sengketa di hari depan. Karena itu ia harus ditafsirkan seluas mungkin, termasuk garis paralel lintang utara 4°10’ dimaksudkan untuk ditarik terus ke laut dari pantai timur Pulau Sebatik. Dalam presumsi semacam ini, yang wajib membuktikan kebalikannya adalah Malaysia ( http://www.kompas.com )
Ternyata Mahkam Internasional dalam persidangan-persidangannya guna mengambil putusan akhir, mengenai status kedua Pulau tersebut tidak menggunakan (menolak) materi hukum yang disampaikan oleh kedua negara, melainkan menggunakan kaidah kriteria pembuktian lain, yaitu “Continuous presence, effective occupation, maintenance dan ecology preservation”. Dapat dimengerti bilamana hampir semua Juri Mahkam Internasional yang terlibat sepakat menyatakan bahwa P. Sipadan dan P. Ligitan jatuh kepada pihak Malaysia karena kedua pulau tersebut tidak begitu jauh dari Malaysia dan faktanya Malaysia telah membangun beberapa prasarana pariwisata di pulau-pulau tersebut.
Effective occupation adalah doktrin hukum internasional yang berasal dari hukum Romawi kuno. Occupation berasal dari konsep Romawi occupatio (baca okupatio) yang berarti tindakan administratif dan bukan berarti tindakan pendudukan secara fisik. Effective occupation sebagai suatu tindakan administratif penguasaan suatu wilayah hanya bisa diterapkan pada terra nullius atau wilayah baru dan wilayah tak bertuan, atau wilayah yang dianggap tak bertuan dan disengketakan oleh Negara.
Effective occupation tidak bisa diterapkan kepada wilayah yang diatur oleh perjanjian, keputusan hakim, keputusan arbitrasi, atau registrasi kepemilikan dengan hukum yang jelas. Dalam mengkaji bukti-bukti hukum sebelum 1969 yang menunjukkan adanya effective occupation atas pulau-pulau Sipadan-Ligitan, Mahkamah mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan kedua negara, yakni:
a. Indonesia mengajukan bukti-bukti adanya patroli AL Belanda di kawasan ini dari tahun 1895 hingga 1928, termasuk kehadiran kapal AL Belanda Lynx ke Sipadan pada November-Desember 1921; dan adanya survei hidrografi kapal Belanda Macasser di perairan Sipadan Ligitan pada Oktober-November 1903. Patroli ini dilanjutkan oleh patroli TNI-AL. Selain itu, bukti yang diajukan adalah adanya kegiatan perikanan nelayan Indonesia pada tahun 1950-1960an dan bahkan awal 1970an.
b. Malaysia mengajukan bukti-bukti berupa bukti hukum Inggris yakni Turtle Preservation Ordinance 1917; perijinan kapal nelayan kawasan Sipadan Ligitan; regulasi suaka burung tahun 1933 dan pembangunan suar pada tahun 1962 dan 1963. Semuanya adalah produk hukum pemerintah kolonial Inggris, bukan Malaysia.
Sebelum menilai bukti-bukti Indonesia, Mahkamah Internasional menegaskan bahwa UU 4/Prp 1960 tentang negara kepulauan tidak mencantumkan Sipadan-Ligitan sebagai milik Indonesia. Mahkamah berpandangan hal ini relevan terhadap kasus pulau Sipadan-Ligitan karena Indonesia tidak memasukkannya dalam suatu perundang-undangan nasional. Terhadap patroli AL Belanda, Mahkamah berpendapat bahwa hal ini merupakan bagian dari latihan bersama atau kesepakatan bersama dalam memerangi perompakan, Sehingga tidak bisa dijadikan dasar pengajuan klaim ( http://www.kompas.com )
Mengenai kegiatan perikanan nelayan Indonesia, Mahkamah berpendapat bahwa “activities by private persons cannot be seen as effectivitè, if they do not take place on the basis of official regulations or under governmental authority” Oleh karena kegiatan tersebut bukan bagian dari pelaksanaan suatu perundang-undangan Indonesia atau di bawah otoritas Pemerintah, maka Mahkamah menyimpulkan bahwa kegiatan ini juga tidak bisa dijadikan dasar sebagai adanya efektiv occupation.
Esensi keputusan ini bukanlah seperti yang dinyatakan sementara kalangan yakni bahwa negara harus memperhatikan lingkungan hidup, pengembangan ekonomi atau bahkan keberadaan orang di suatu pulau terpencil untuk menunjukkan effective occupation, tetapi yang terpenting adalah apakah ada suatu pengaturan hukum atau instrumen hukum, regulasi atau kegiatan administrative lainnya tentang pulau tersebut terlepas dari isi kegiatannya. Keputusan ini juga tidak memberikan makna hukum terhadap pembangunan resort yang dilakukan oleh Malaysia setelah 1969 dan juga kegiatan perikanan nelayan Indonesia yang tidak didasarkan atas peraturan perundang-undangan.
Jelas elemen kuncinya dalam aplikasi doktrin effective occupation adalah ada tidaknya suatu perundang-undangan, peraturan hukum, atau regulasi terkait status wilayah tersebut. Hal ini tentunya sejalan dengan makna dari occupatio (baca okupatio) yang berarti tindakan administratif dan bukan berarti pendudukan secara fisik.
Perlu digarisbawahi bahwa bukti-bukti yang diajukan adalah kegiatan Belanda dan Indonesia versus bukti hukum Inggris. Jadi dari segi kacamata hukum internasional, Malaysia mendapatkan pulau-pulau tersebut bukan atas kegiatannya sendiri tetapi atas kegiatan hukum Inggris.
KESIMPULAN
Bila kita melihat kebelakang tentang upaya-upaya Indonesia yang telah dilakukan sejak tahun 1960-an untuk menyelesaikan sengketa pulau Sipadan Ligitan, maka sebenarnya upaya-upaya tersebut cukup intensif, namun masih terdapat berbagai kekurangan-kekurangan, antara lain :
Ø Sejak terbentuk negara kesatuan Republik Indonesia pada 1945, Indonesia tidak pemah melakukan aktivitas ekonomi di pulau Sipadan dan Ligitan, jadi Indonesia tidak ada upaya dalam pengelolaan sumberdaya yang terdapat pada pulau Sipadan dan Ligitan. Sebaliknya Malaysia sejah tahun 1980-an telah menjadikan pulau Sipadan dan Ligitan sebagai pulau wisata bahari.
Ø Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia terdapat "Ke-alpaan" para penyusun Undang-Undang tersebut yaitu dengan tidak mencantumkan pulau Sipadan dan Ligitan dalam wilayah kedaulatan negara kepulauan Indonesia. Demikian juga dengan penetapan PP No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang sekaligus menggantikan UU No.4 / Prp /1960 tidak mencantumkan daftar koordinat titik dasar wilayah kepulauan Indonesia, PP hanya dilampiri peta Ikhtisar wilayah yuridiksi kepulauan Indonesia.
Ø Sistem pengarsipan Indonesia terhadap dokumen-dokumen sejarah, khususnya menyangkut dokumen wilayah perbatasan yang ada sejak tahun 1900-an sangat lemah, sehingga saat dokumen - dokumen dibutuhkan kita harus ke negara tertentu misalnya Belanda dan Inggris untuk menelusurinya. Hal ini membutuhkan waktu dan biaya yang besar dan belum tentu negara bersangkutan "mau memberikan secara ikhlas" data dan peta-peta dimaksud.
Ø Pengelolaan pulau-pulau kecil yang terletak di wilayah perbatasan belum mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah pusat, khususnya aspek ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan sehingga beberapa pulau kecil diperbatasan secara bebas didatangi orang asing bahkan mereka berinteraksi dan menetap di pulau-pulau tersebut.
Ø Mengoptimalkan upaya penyelesaian masalah perbatasan dengan 9 negara tetangga, melalui sinergis instansi terkait, sehingga pembangunan dan pengembangan wilayah perbatasan dapat dilaksanakan secara komprehensif
+++++++++++++++++++++++++++
Bermasalah dengan orang tuamu? bagaimana caranya bs berkomunikasi yang baik dengan orang tua?
Sila ditengok (klik) dalam tautan berikut :
-----------------------------------------------
Tanda" Gangguan Sihir dan Jin dalam diri bisa ditengok (klik) dalam tautan berikut :
-----------------------------------------------
Pintu masuk Gangguan Jin pada diri bisa ditengok (klik) dalam tautan berikut :
-----------------------------------------------
Apakah kita mendapatkan Ujian ataukah Adzab dari Allah? ditengok (klik) dalam tautan berikut :
Klik ➡ j.mp/UjianAtauAdzab
------------------------------------------------
Ilmu tentang Taaruf, ditengok (klik) dalam tautan berikut :
Klik ➡ j.mp/PengertianTaaruf
-----------------------------------------------
Info ttg Program Cicilan Heiwan Qurban Idul Adha 2016M / 1437H, bisa ditengok (klik) dalam tautan berikut :
-----------------------------------------------------
@akademipranikah hadir di Jakarta,
Bagi yang mau tau :
- cara memilih pasangan yang BENAR agar BAHAGIA seumur hidup,
- cara menyiapkan diri JELANG Pernikahan
- cara menjaga KEHARMONISAN Rumah Tangga
- cara menjaga CASH FLOW Keuangan Rumah Tangga
- cara menjaga KESEHATAN anggota Keluarga
ikuti KELAS PERNIKAHAN di @akademipranikah Jakarta
bisa ditengok (klik) dalam tautan berikut :
Klik ➡ j.mp/AkademiPranikahJakarta
-----------------------------------------------------
Info tentang Rekrutmen Sahabat Pengendara Ojek Syari (khusus Muslimah), bisa ditengok (klik) dalam tautan berikut :